← Kembali ke Daftar

SMTK Manekat Sei dan Perjuangan Melestarikan Budaya

Ditulis oleh Kopong Bunga Lamawuran pada 22 Jun 2025, 01:32

Gambar Artikel

SMTK Manekat Sei dan Perjuangan Melestarikan Budaya


 


Dikelilingi pohon-pohon kelapa dan pinang, kesejukan bisa kaurasakan di sudut manapun. Di sebelah timur, dua ruang kelas berdinding bebak berdiri tak goyah, diisi para siswa yang sedang mempersiapkan diri. Di tengah lapangan, keriuhan terdengar tak putus-putus seperti bising lebah dalam pengungsian. Enam tenda jadi telah didirikan di tengah lapangan sekolah, dan keriaan menggema sampai ke dalam ruang-ruang kelas.  Langit berawan, sedikit mendung, tapi tak menyurutkan niat orang-orang untuk berkumpul. Lebih dari dua ratus orang datang dan ingin menyaksikan apa yang akan terjadi di sekolah ini.  


SMTK Manekat Sei berlokasi di Desa Sei, Kecamatan Kolbano, Timor Tengah Selatan. Sekolah ini didirikan pada tahun 2012, dan selama rentang waktu 13 tahun, sekolah ini pernah mengalami perpindahan lokasi. Suasana hari-hari di sekolah biasanya sepi dan hening.


Namun hari ini suasananya berbeda, karena merupakan puncak dari seluruh kegiatan ujian sekolah yang telah mulai digelar pada beberapa hari sebelumnya. Ujian praktik ini bernuansa budaya, dibagi dalam tiga kategori: tenun ikat, fashion show, dan tarian tradisional.


Sang kepala sekolah, Charles Nabunome, bersama sejumlah siswa dan orang tua, berdiri di belakang para juri. Juri-juri itu didatangkan dari ibukota kabupaten, dipercayakan untuk menilai penampilan dan praktik siswa. Di ujung tenda yang berseberangan dengan para juri, empat sound system ditata layaknya dalam pesta pernikahan. Bersama musik menggelegar yang keluar dari sound system itu, dua orang siswa sekolah menengah pertama melakukan pertunjukkan pembuka. Mereka berjalan menuju meja para juri dengan wajah ceria, berlenggak lenggok sejenak di depan para juri. Penampilan kedua remaja kencur ini sebagai menu pembuka, sebelum dilanjutkan dengan penampilan para siswa SMTK Manekat Sei.


Mata Carles Nabunome terlihat berair, dan sesekali dilapnya dengan telapak tangan.


“Ini yang pertama kali. Saya terharu,” katanya di sela pertujukkan, Kamis (6/4/2023).


Rasa haru dari Charles Nabunome itu bukanlah tanpa alasan. Banyak badai (kalau boleh kita menggunakan metafora untuk menggambarkan perjalananan sekolah ini) yang dilalui dalam pengabdiannya sebagai kepala sekolah di SMTK Manekat Sei. Penerimaan dan penolakan, kebencian dan cinta, kesetiaan dan pengkhianatan, katanya, semua itu telah dirasakan. Bersama sejumlah guru, mereka terus saja mengabdi di sekolah ini, terus mengalami dan bertahan dalam badai itu, sampai hari ujian praktik ini.


Namun keterharuan sang kepala sekolah bukanlah semata-mata karena badai-badai itu.


“Tidak semua orang setuju yang apa yang kita lakukan. Tapi justru karena itulah yang membuat kita berkembang,” ujarnya.


Keterharuan Charles, lebih-lebih, didasari oleh fakta bahwa para siswa mampu mempraktikkan apa yang selama ini telah mereka pelajari. Fakta ini membuatnya terharu sekaligus bahagia. Dan inilah sebenarnya tujuan dari segala perjuangan mereka mengabdi di sekolah ini. Apapun yang telah dipelajari oleh siswa, kata Charles, harus bisa dipraktikkan, diaplikasikan. Baginya, ini adalah puncak dari segala proses belajar tersebut; bahwa sebanyak apapun teori, praktik dan penerapan adalah puncaknya.


Selain fashion show dan tarian, salah satu praktik yang mereka lakukan adalah tenun ikat. Selama enam bulan terakhir, sebagai satu kegiatan ekstrakulikuler, para guru telah melatih siswa untuk menenun. Seturut pengamatan Charles, para siswa pun memiliki semangat serta niat yang kuat untuk belajar menenun. Para guru memiliki kewajiban untuk memantau para siswa, dan sejauh ini mereka telah membentuk sekitar 10 kelompok menenun. Semangat siswa dalam menenun ini, untungnya, didukung juga oleh pola hidup mereka selama berada di rumah.


Di rumah, terang Charles, para siswa belajar juga dari orangtua mereka perihal menenun. Karena sebagaian besar orangtua para siswa adalah penenun. Sehingga mereka tidak kewalahan saat menjalankan kegiatan ekstrakulikuler tersebut. Dengan cara ini, para siswa bisa belajar untuk melestarikan warisan budaya nenek moyangnya.


Namun, imbuh sang kepala sekolah, menenun tak hanya soal meneruskan warisan budaya nenek moyang. Warisan tetaplah warisan, dan selamanya akan menjadi warisan. Ada nilai lain yang melekat dalam sebuah tenunan, yaitu nilai kepraktisan sekaligus nilai ekonomis.


“Salah satu potensi yang bisa mendorong ekonomi masyarakat di sini adalah tenun ikat. Karena, selama 10 tahun saya berada di sini, saya tahu apa yang sering dilakukan orangtua. Saat mereka tidak ada uang, mereka cukup bawa satu selimut dan menjual, dan langsung menjawab kebutuhan anak. Saya melihat itu sebagai bibit UKM. Maksudnya, potensi itu bisa dijadikan sebagai usaha di masa depan,” jelasnya.


Nilai-nilai seperti inilah yang kemudian membentuk cara pandang Charles terhadap pendidikan formal. Baginya, pendidikan hanyalah sebuah batu loncatan bagi siswa untuk sukses dan menemukan potensi dirinya. Dan tolak ukur untuk mengukur kesuksesan dan potensi diri, adalah dengan praktik.


Pada ujian praktik yang berlangsung meriah ini, pihak sekolah juga menghadirkan perwakilan dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten Timor Tengah Selatan. Kepala Seksi Pendidikan Kristen pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Timor Tengah Selatan, Wasti Adelta Fallo, sangat mengapresiasi kinerja dari seluruh jajaran sekolah. Dia juga berterima kasih karena beberapa rekannya sebagai tim pengawas, dipercayakan juga sebagai tim penilai dalam ujian ini.


“Apa yang dilakukan oleh teman-teman sebagai tim penguji, adalah objektif. Karena kita berharap, hasil dari ujian ini tidak diragukan oleh pihak manapun,” kata Wasti.


Dirinya sangat berharap, setelah para siswa mengikuti ujian dan lulus, mereka harus melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Saat ini, banyak beasiswa yang bisa diakses para siswa untuk membantunya dalam kuliah nanti.


Karena kalau tidak kuliah, katanya, siswa tersebut akan kesulitan dalam mengakses pekerjaan.


“Pendidikan SMA sepertinya tidak relevan lagi dengan perkembangan dunia saat ini. Anak-anak tidak bisa bersaing lagi dalam dunia usaha dan kerja. Saya kasih contoh: tukang kayu. Dia mau sehebat apapun, untuk tender satu proyek, orang akan tanya ijazahnya. Atau misalnya dalam menenun. Atau mengajar. Dia mau hebat mengajar, tapi kalau tidak ada ijazah mengajar, maka itu tidak bisa. Dia mau melamar di sini pun tidak bisa,” jelasnya.


Karena alasan tersebut, Wasti sangat berharap kepada seluruh orangtua untuk berupaya menyekolahkan anaknya ke jenjang perguruan tinggi. Dia juga berharap kepada para guru agar selalu memberikan pemahaman kepada para orangtua dan siswa akan pentingnya pendidikan perguruan tinggi. *****(Ambuga Lamawuran)